Oh iya! Aku juga ingin bercerita tentang pengalamanku beberapa tahun yang lalu saat aku masih belajar mengaji bersama teman-temanku di Masjid yang berada tak jauh dari rumah Nenek, tempatku tinggal bersama Mama selama ini.
Awalnya, sebelum aku mengaji di Masjid, aku mulai belajar membaca Al-Qur'an bersama kakak sepupu lelakiku, yang usianya hanya berbeda setahun lebih tua dariku. Disaat itu, usiaku masih 8 tahun dan kelas 2 SD. Sementara kakakku itu berumur 9 tahun dan kelas 3 SD. Setiap kami pulang sore dari les Aritmatika, malamnya kami diajarkan mengaji oleh salah satu guru mengaji di Masjid dekat rumahku itu. Namanya Pak Yanwar, atau biasa juga dipanggil Pak Guru Januar. Kami diajarkan cara membaca Qu'ran yang baik dan benar, dan juga menghafalkan surah-surah pendek serta Ayat-ayat pilihan. Aku belajar bersama kakak sepupuku di rumahnya hingga kami Iqro' 4.
Setahun kemudian, karena aku dan kakakku itu sudah berhenti les Aritmatika, akupun melanjutkan belajar mengaji hingga tamat Iqro' 6 di Masjid. Guru yang mengajariku juga masih sama, yakni Pak Guru Januar. Namun tetap ada beberapa guru muda pembimbing lainnya.
Di Masjid yang bernama "Masjid Nurul Bani" tersebut, Aku mendapat banyak teman yang baru kukenali, meskipun rumah mereka masih berada disekitar Masjid. Walaupun keadaanku tidak senormal teman-teman yang lain, aku tetap bersyukur karena ternyata mereka bisa berteman denganku secara baik, ramah, dan juga akrab denganku, baik itu anak laki-laki, maupun perempuan.
Setiap sore jika aku masuk sekolah pagi, aku pasti pergi ke Masjid untuk mengaji, hingga ba'da Maghrib. Namun jika aku masuk sekolahnya siang hari, aku mengaji pagi bersama teman-teman yang masih seumuran denganku, yang juga masuk sekolah siang. Tak jarang juga, kalau aku bangunnya telat, aku mengaji malam setelah shalat Maghrib, hingga ba’da isya.
Namun ada satu pelajaran di Masjid yang sering aku takuti. Yakni "praktek shalat". Kenapa aku takut? Maklumlah, karena sejak kecil lututku yang dikaki sebelah kanan sudah setengah kaku, dan tidak bisa dilipat seperti halnya dengan anak-anak lainnya. Jadi, setiap ada kegiatan praktek shalat, aku pasti akan merasa ketakutan. Aku langsung berpikir, dan mencari berbagai alasan untuk berusaha menghindar dari pelajaran itu. Mungkin saja, aku malu ditertawakan lagi oleh teman-teman seperti pada praktek shalat yang sudah pernah aku alami sebelumnya. Entah mengapa juga, mungkin karena sikapku yang saat itu memang sangat pemalu, aku belum bisa membela diriku sendiri.
Pernah juga disuatu hari, saat aku ikut mengaji malam. Tiba-tiba Guru mengajiku yang saat itu mengajar menyuruh aku dan teman-teman praktek shalat 2 rakaat. Seketika, aku langsung keringat dingin, ketakutan, dan tak bisa berkata-kata saking traumanya. Aku tidak berani beralasan kepada Guruku, karena takut nilaiku nanti akan menurun. Yaa apa boleh buat, terpaksa aku mengikuti arus. Apapun nanti yang akan terjadi padaku, akan kuterima.
Dan benar juga, yang aku takuti sebelumnya pun terjadi. Awalnya, waktu tiba duduk diantara 2 sujud, aku hanya bisa menutup mata, karena takut ditegur oleh Guru. Namun, setelah duduk tasyahud akhir, barulah disitu aku ditegur. Guruku yang masih merupakan siswi SMA itu pun bertanya mengapa cara dudukku tidak sama seperti teman-teman yang lainnya. Saat itu aku hanya bisa menjawab "tidak bisa, Bu". Tak terkira perasaanku saat itu. Mungkin juga perasaanku harusnya tidak seperti itu. Namun tetap saja, yang terjadinya memang seperti itu.
Setelah pulang dari Masjid, akupun menangis di rumah, dan Mama pun berusaha menenangkanku. Sebenarnya, Mamaku juga sudah pernah menyampaikan hal tersebut kepada Pak Januar Guruku. Tapi mungkin karena yang mengajar malam waktu itu bukan Pak Januar, jadi tidak ada yang tahu tentang ketakutanku itu.
Ada juga satu pengalaman tak terlupakan saat aku masih mengaji di Masjid yang bernama Masjid Nurul Bani tersebut. Saat itu adalah waktu istirahat setelah aku dan teman-teman yang lain telah selesai membaca dan menulis Al-Qur’an.
Ketika aku sedang melintas di halaman sebelah timur Masjid, aku melihat ada seorang pemuda sedang tertidur di halaman Masjid itu. Awalnya sih, aku mengira pemuda itu hanya ingin melepas lelah. Tapi melihat penampilannya yang sedikit acak-acakan, aku jadi tidak yakin dengan perkiraanku itu. Dengan perasaan sedikit takut, aku pun berjalan disamping pemuda berkulit hitam tersebut.
Setelah aku sedikit jauh berjalan dari pemuda itu, pemuda itu pun terbangun dari tidurnya dan berjalan tepat di belakangku. Entah mengapa, aku segera mempercepat langkah kakiku, dan berlari menuju ke arah belakang Masjid tanpa sekalipun menoleh ke arah pemuda tadi. Sesekali, aku coba untuk mengintip gerak-gerik lelaki mencurigakan tersebut. Aku tidak menyangka, dan sangat terkejut ketika melihat pemuda itu langsung menangkap dan memeluk salah satu teman lelakiku sambil berteriak ”adikku … adikku …”. Disitu pun aku baru tahu, bahwa ternyata pemuda tersebut adalah orang yang kurang waras, alias orang stress (gila).
Semua teman-temanku yang berada disekitar Masjid itu pun berlari ketakutan keluar Masjid, dan sebagian teman-teman lelakiku serta guru-guruku berusaha untuk melepaskan teman lelakiku dari pelukan pemuda gila tersebut. Dan untunglah, mereka semua bisa melepaskannya dari tangan pemuda gila berkepala plontos itu.
Karena aku bersembunyi di belakang Masjid, aku pun selamat dari tangkapan orang stress itu. Aku merasa sangat bersyukur karena sebelumnya, aku berjalan persis disamping lelaki gila itu. Bahkan, aku hampir menyenggol tubuhnya yang saat itu masih tertidur. Memang sudah menjadi kebiasaanku pada hari-hari biasanya, pada saat itu aku memang sangat suka berjalan di belakang Masjid, yang tembus ke toilet dan tempat para jamaah Masjid untuk mengambil air wudhu itu. Entah apa sebabnya, mungkin karena lingkungannya tertutup, dan udara disana juga cukup sejuk dan dingin jika kita berjalan mengitarinya. Bukan hanya aku saja, ada juga teman-temanku yang suka ke belakang Masjid. Entah itu untuk bersembunyi, ataupun berlarian untuk mengelilingi halaman depan, dan samping Masjid.
Setelah merasa suasana sudah cukup tenang dan aman, aku kembali berjalan di belakang Masjid, menuju tempat pengambilan air wudhu, dan juga toilet belakang Masjid. Di depan toilet Masjid, aku melihat seorang anak kecil, yang juga merupakan salah satu teman baruku di Masjid tersebut. Usianya kira-kira baru menginjak 5 tahun. Aku melihatnya menangis sendirian, dan juga kebingungan. Mungkin, karena ia ketakutan mendengar teriakan histeris dari orang gila tadi. Melihat anak kecil itu menangis, aku pun mencoba mendekatinya.
Tak disangka, setelah anak itu melihatku menghampirinya, dia pun langsung berlari ke arahku, dan memegang tanganku erat-erat. Walaupun mungkin sebenarnya dia juga belum mengenalku, karena pada saat itu dia masih merupakan murid baru TK/TPA di Masjid tersebut. Aku mencoba bertanya kenapa ia menangis, namun dia hanya terisak, sambil masih memegang tanganku dengan sangat erat.
Aku mengajak anak perempuan tersebut hingga kami keluar dari Masjid lewat pintu selatan. Dan setelah keluar dari Masjid, anak itu pun segera berlari pulang ke rumahnya, yang masih berada di sekitar Masjid tersebut. Sementara aku, walaupun tas mengajiku masih ada didalam Masjid, aku pun memutuskan untuk pulang juga ke rumah, dan akan kembali mengambil tasku sebelum Maghrib nanti.
Begitulah salah satu pengalaman yang aku ingat hingga kini. Suatu pengalaman menarik saat mengaji di Masjid yang banyak memberiku pelajaran, dan juga banyak mengajarkan kepadaku tentang pentingnya mempelajari Agama islam. Aku sangat berterima kasih kepada Mamaku, yang telah memberiku kesempatan untuk mengaji di Masjid tersebut bersama dengan teman-teman yang lainnya.
Pada awalnya memang cukup sulit untuk memulai pertemananku disana. Apalagi, dengan keadaan fisikku yang tidak senormal teman-teman sebayaku yang lainnya. Namun, selang beberapa hari setelah aku mengaji disana, aku langsung bisa akrab dengan mereka yang kebanyakan usianya masih sebaya denganku itu.
0 Response to "Pengalaman saat TK/TPA di Masjid (Kisahku - Part 3)"
Post a Comment
Apa komentarmu tentang catatan ini?